Rabu, 07 April 2010

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ANALISIS CITRA DIGITAL UNTUK PENILAIAN POSTUR (Taufiq H, Tandiyo Rahayu, Hardhono, Hari W)(Tim IT: Bonar K, Ahmad Haekal)


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah produk perangkat lunak teknologi digital analisis citra yang dapat digunakan untuk menilai postur tubuh secara cepat dan akurat. Produk yang dikembangkan dan dihasilkan melalui penelitian ini adalah alat pindai yang dapat menangkap citra 2 dimensi dilengkapi dengan perangkat lunak yang dapat menganalisis citra yang ditangkap oleh alat pindai tersebut, sesuai dengan indikator penilaian postur. Proses pengenalan postur secara otomatis antara citra subyek dan citra ideal melalui pengubahan ke citra biner dilakukan dengan metode perbandingan luas bidang tubuh antara citra subyek dengan citra ideal yang sudah ada. Hasil penelitian ini adalah bahwa pengubahan gambar ke Citra biner hitam putih dapat digunakan untuk penentuan bentuk somatotype manusia.
Kata kunci: Teknologi analisis citra digital, postur,

Pendahuluan
Arah dan strategi pembangunan olahraga di Indonesia telah di desain sedemikian rupa, mengacu pada pola ‘Bangunan Olahraga Nasional’ (lihat Gambar 1). Pada desain bangunan tersebut tampak jelas bahwa pembangunan olahraga nasional telah ditata dari hulu hingga ke hilir, dari fondasi hingga ke atap bangunan. Dengan analogi bentuk ‘bangunan rumah’, pembangunan olahraga nasional dimulai dengan menggarap bagian dasar, yaitu fondasi bangunan yang menjadi bagian dari strategi pembudayaan olahraga dalam kehidupan sehari-hari, terus mengalir, menanjak makin tinggi hingga ke atap bangunan. Melalui strategi menjadikan olahraga sebagai bagian dari budaya, diharapkan partisipasi masyarakat dalam berolahraga akan meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga kemudian akan mudah ditemukan orang-orang berbakat dan berpotensi untuk diarahkan dan dibina menjadi atlet.
Pada bagian selanjutnya, yaitu di bagian lantai 1 yang merupakan bagian akhir dari strategi pembudayaan olahraga diwujudkan melalui upaya pemassalan. Pemassalan dilaksanakan melalui kegiatan olahraga rekreasi, pendidikan jasmani dan klub usia dini. Keberhasilan bagian pemassalan di lantai 1 ini sangat mempengaruhi keberhasilan pembinaan di lantai-lantai berikutnya, hingga ke bagian atap bangunan. Pengemban tanggungjawab, pengawal, dan pengendali pelaksanaan kegiatan pemassalan adalah masyarakat, pemerintah daerah dan Departemen Pendidikan Nasional.

Salah satu peran strategis Departemen Pendidikan Nasional dalam mengawal dan mengendalikan pemassalan olahraga adalah “menyediakan guru-guru pendidikan jasmani” yang berkualitas yang mampu membuat peserta didik gemar bergerak, menikmati gerak, mengekplorasi gerak hingga memudahkan ditemukannya mereka yang berpotensi untuk dibina sebagai atlet melalui klub olahraga. Kepanjangan tangan Departemen Pendidikan Nasional dalam menyediakan guru pendidikan jasmani adalah lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam hal ini secara spesifik adalah Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) dan Jurusan Pendidikan Jasmani dan Keolahragaan (JPOK) pada Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP).
Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menerima lulusan sekolah menengah atas sebagai calon mahasiswa, FIK dan JPOK FIP yang ada di Indonesia pada umumnya melaksanakan tes khusus berupa tes praktik dan atau tes keterampilan sebagai upaya untuk menyeleksi calon yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti perkuliahan di bidang keolahragaan.
Dalam 5 tahun terakhir, terdapat kecenderungan kuat meningkatnya jumlah calon mahasiswa yang berminat untuk studi di jurusan atau fakultas keolahragaan. Hal ini tampak dari meningkatnya jumlah peserta tes khusus sejak tahun 2005, seperti yang dapat diamati dalam data berikut ini

Jumlah Calon Mahasiswa FIK/JPOK-FIP Peserta Tes Praktik
di Beberapa Lembaga Pendidikan Tinggi Keolahragaan Di Indonesia

LEMBAGA 2005 2006 2007 2008
FIK UNNES 1888 2514 1934 2383
FIK UNJ 1067 1774 1178 1778
FIK UNY 1478 1945 2462 2516
FIK UNESA 1393 1879 2299 2002
JPOK FIP UNS 233 577 734 1055
JPOK FIP UM 700 950 1100 1450
JPOK FIP UNSYIAH 150 342 446 445

Salah satu item tes yang harus dilewati oleh para calon mahasiswa FIK/JPOK adalah tes postur. Tes postur ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai kenormalan dan kelayakan bentuk fisik para calon. Tes ini diperlukan karena beberapa materi perkuliahan di bidang keolahragaan, khususnya perkuliahan keterampilan gerak memang memerlukan persyaratan fisik tertentu, baik sebagai persyaratan untuk menguasai keterampilan maupun untuk alasan keamanan.
Berdasarkan informasi yang telah berhasil dikumpulkan, baik di FIK Unnes maupun di FIK/JPOK perguruan tinggi lain, selama ini tes postur dilakukan secara manual dengan mengandalkan pengamatan mata telanjang. Pengamatan dengan mengandalkan mata telanjang memang merupakan salah satu teknik penilaian postur yang telah dilakukan sejak lama di berbagai negara, namun bila ini dilakukan terhadap populasi yang jumlahnya relatif banyak, hingga mencapai ribuan, tentu akan menimbulkan masalah. Masalah yang pertama dan utama adalah yang terkait dengan akurasi penilaian, yang kedua adalah waktu pelaksanaan tes yang sangat lama.

Teknologi Digital untuk Penilaian Postur
Perkembangan teknologi digital dalam dasawarsa terakhir ini menunjukkan progres yang luar biasa. Hingga saat ini teknologi digital telah memberikan sumbangan berharga dalam berbagai bidang, dari bidang kesehatan hingga seni. Image proccessing atau pemrosesan citra merupakan salah satu bidang kajian teknik elektro keisyaratan yang berupaya mengekstraksi informasi atas citra yang telah diolah, umumnya secara digital. Citra adalah representasi objek (benda, orang) ke dalam bidang 2 dimensi (Gonzalez dan Wood, 2008:1-2). Teknologi ini secara fungsional dapat dimanfaatkan untuk memindai dan menilai postur.
Postur adalah sebutan yang lazim digunakan untuk menyebut bentuk atau tampakan tubuh dengan memperhatikan kontur tubuh, proporsi, dan komposisi. Dalam kajian antropometri, postur disebut sebagai somatotype. Somatotyping adalah sistem untuk mengklasifikasi tipe tubuh dalam 3 kategori, yaitu endomorf (endomorphy), mesomorf (mesomorphy) dan ektomorf (ectomorphy).
Dari artikel tentang somatotype yang diunduh di http: //www.topendsports.com dijelaskan masing-masing tipe memiliki ciri-ciri seperti uraian di bawah ini.
Endomorf
Seorang dengan postur tubuh kategori endomorf akan terlihat ‘gendut’, dengan tubuh yang besar membulat, leher pendek dan lebar, lengan dan tungkai pendek, dengan kecenderungan memiliki timbunan lemak yang cukup banyak di tubuhnya.
Olahragawan biasanya tidak masuk dalam kategori ini. Biasanya orang dengan postur endomorf memiliki kebugaran jasmani yang kurang baik.

Mesomorf
Ciri-ciri seorang dengan postur mesomorf adalah bertubuh kokoh. Dada dan bahu lebar serta berotot. Lengan dan tungkai juga tampak berotot dengan sedikit timbunan lemak pada tubuh. Sebagai contoh, orang dengan kategori ini banyak dijumpai pada atlet angkat berat atau tolak peluru.
Secara umum orang dengan bentuk tubuh mesomorf memiliki kekuatan, dayatahan, daya ledak dan kelincahan yang baik.


Ektomorf
Seseorang dengan bentuk tubuh ektomorf akan tampak tinggi dan kurus, dengan tubuh yang langsing. Lengan dan tungkainya jenjang, tubuhnya tidak berlemak dan otot-ototnya tampak liat. Orang-orang dengan tipe tubuh semacam ini akan banyak dijumpai pada atlet cabang olahraga seperti lari jarah jauh atau bola basket. Secara umum, tipe ektomorf memiliki daya tahan, kelenturan dan kelincahan yang baik.

Bentuk tubuh semua atlet dapat dilacak dari ekstrimitas ke tiga bentuk tubuh, yaitu endomorf, mesomorf dan ektomorf. Dengan menggunakan skor 1 sampai 7, setiap bentuk tubuh dapat diskor dan hasilnya menggambarkan kecenderungannya. Sebagai contoh: 2-6-3 berarti 2 (skor 2/rendah untuk endomorf), 6 (skor 6/tinggi untuk mesomorf), dan 3 (skor 3/rendah untuk ektomorf). Metode penilaian ini disebut dengan somatotyping. Gambar 4 di bawah ini merupakan contoh pemetaan somatotipe

Penilaian Postur

Pada mulanya penilaian postur dilakukan oleh Hitchcock, dalam bentuk rekaman antropometrik. Dalam perkembangan selanjutnya, di sekitar tahun 1930-1940, beberapa pakar mulai secara progresif mengembangkan teknik dan metodologi pengukuran dan evaluasi postur, seperti the Cureton-Gunby conformateur, Korbs’ comparograph, posturemeter, scoliometer, x-rays, pedograph, photography, dan skala lajuan. Namun dalam perkembangan selanjutnya sejumlah kendala muncul pada saat alat-alat ukur tersebut digunakan, seperti prosedur operasional yang rumit dan objektivitas dalam proses pengukuran (Johnson & Nelson, 1970:12).
Aplikasi Analisis Citra
Analisis citra adalah bidang kajian teknik elektro keisyaratan yang berupaya mengekstraksi informasi atas citra yang telah diolah, umumnya secara digital.
Citra adalah representasi objek (benda, orang) ke dalam bidang 2 dimensi (Gonzalez dan Wood,2008:1-2). Pada penilaian postur, analisis citra bisa dimanfaatkan dengan mengambil citra postur orang yang dinilai, membandingkan citra yang diperoleh dengan pola idealnya. Tingkat kesesuaian citra perolehan dengan pola ideal akan menentukan tinggi rendahnya skor tes yang diperoleh.
Untuk memperoleh citra postur orang yang dinilai, dilakukan pemotretan dengan kamera digital dengan latar belakang warna yang kontras dengan citra orang. Dalam hal ini, latar belakang putih dengan objek cenderung gelap bisa digunakan. Citra yang dihasilkan dari proses pemotretan diubah ke dalam bentuk citra biner dengan pemilihan ambang (threshold) tertentu sehingga citra yang diperoleh akan menjadi citra hitam pekat dengan latar belakang putih. Citra hitam pekat mewakili objek yang dites.
Citra yang diperoleh dari hasil pemotretan dan diolah menjadi citra biner tersebut selanjutnya dihitung luas bidang hitam dalam satuan pixel kemudian dibandingkan dengan ukuran luas citra pola idealnya. Berikut ini adalah langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mengembangkan dan menyusun software analisis citra.

Metode
Metode photoscopic memungkinkan penggunaan foto digital yang dianalisis dengan komputer untuk menilai postur atau menentukan somatotype seseorang. Secara teknis ada dua cara melakukan penentuan somatotype dengan teknik analisis citra ini , yakni:
1. Citra subyek yang telah dibuat menjadi citra biner, dibandingkan dengan 3 citra biner standard yang mewakili tiga tipe utama (ectomorph, mesomorph, dan endomorph) menggunakan metode perbandingan luas bidang tubuh Korelasi terbesar antara citra subyek dengan citra standar merupakan indikasi tipe subyek yang diuji.
2. Terhadap citra yang didapat, diekstrak ciri atau fitur-fitur yang berpengaruh dalam menentukan tipe atau bentuk tubuh seseorang. Pemilihan ciri yang berpengaruh ini dilakukan dengan mempelajari secara seksama ‘apa yang dilihat’ oleh penilai dan menerjemahkannya ke dalam ciri atau fitur yang dikenali komputer. Fitur yang dapat dikenali atau dihitung dengan komputer, misalnya adalah: proporsi tinggi badan dengan lebar bahu, proporsi lebar bahu dengan lebar perut, dan sebagainya. Ukuran lebar dan panjang digunakan karena citra, yang diambil dengan foto digital, adalah entitas 2 dimensi.

Hasil
Proses pengenalan postur secara otomatis antara citra subyek dan citra ideal melalui pengubahan ke citra biner dapat dilakukan. Pengenalan ini dengan dengan metode perbandingan luas bidang tubuh antara citra subyek dengan citra ideal yang sudah ada . Dalam metode ini, ditentukan ciri/fitur yang berpengaruh dalam menentukan tipe/bentuk seseorang ke dalam satu dari 3 tipe. fitur yang akan digunakan adalah:
a. Proporsi panjang/tinggi badan dengan lebar bahu.
b. Proporsi lebar bahu dengan ‘lebar’ perut.
c. Proporsi ‘lebar’ kepala dengan lebar bahu.



Gambar 7
Tampilan hasil
Kesimpulan dan Saran
Program Pengenalan deteksi tubuh atau somatotype dengan menggunakan teknologi analisis citra digital dengan metode ektraksi fitur dapat membantu penilaian postur.
Penelitian yang mengembangkan teknologi Photocospik untuk kepentingan pengukuran bentuk tubuh dalam kondisi statis maupun dinamis perlu dikembangkan.
Diperlukan Pengembangan teknologi analisis citra digital lain untuk penilaian postur melalui image processing yang dapat membantu mempercepat proses pengubahan citra dari berwarna ke citra biner (hitam dan putih.) dan dapat mengukur secara akurat tanpa dipengaruhi faktor luar (cahaya, pakaian dan posisi) dalam pengambilan gambar.

Daftar Pustaka
Borg, Walter R. dan Gall, Meredith, Damien. 1983. Educational Research: An Introduction Fourth Edition. New York: Longman Inc.

Clarke, H. Harrison & David H. Harrison. 1987. (6th ed.). Application of Measurement to Physical Education. New Jersey: Prentice-Hall, Inc

Gonzalez, R.C. dan Richard E. Woods. 2008. Digital Image Processing. Third Edition. New York: Pearson-Prentice Hall.

Jizeng Wang and Hongmei Yang. 2008. "Face Detection Based on Template Matching and 2DPCA Algorithm," cisp,pp.575-579, 2008 Congress on Image and Signal Processing, Vol. 4, 2008

Johnson, Barry L & Jack K. Nelson. 1970 (3th ed). Practical Measurements for Evaluation in Physical Education. Minneapollis: Burgess Publishing Company

http://www.topendsports.com/, Fitness Testing, download 10
Maret 2009



http://www.brianmac.co.uk/bodytype.htm, Body Type, download 11 Maret 2009

http://organisasi.org/macam-jenis-gangguan-pada-tulang-dan-sendi-tulang-manusia-pengertian-arti-definisi-penyakit, Gangguan Kelainan Pada Tulang Belakang, download 21 Maret 2009

http://www.e-dukasi.net/ , Lordosis, Kifosis, Skoliosis, download 21 Maret 2009

Regan, John J. A Closer Look at Lordosis. http://www.spinesource.com, download 15 Maret 2009

Shihong Lao, et.al. 2000. “Plate Matching for Pose Invariant Face Recognition Using 3D Facial Model Built with Isoluminance Line Based Stereo Vision," icpr,pp.2911, 15th International Conference on Pattern Recognition (ICPR'00) - Volume 2, 2000

Sulaiman, S.N., et.al. 2007. An Expert Image Processing System on Template Matching. IJCSNS International Journal of Computer Science and Network Security, VOL.7 No.7, July 2007

Zhe Lin, et. al. 2007. Hierarchical Part-Template Matching for Human Detection and Segmentation. Eleventh IEEE International Conference on Computer Vision Rio de Janeiro, Brazil, October 14-20, 2007

RESPECTING COACH (filosofi seorang pelatih)


Dalam dunia olahraaga fungsi dan peran seorang pelatih sangat erat hubungannya dengan capaian prestasi yang diukir oleh atlet. Pelatih adalah seorang yang harus tahu tentang semua kebutuhan yang menjadi dasar bagi terpenuhinya kondisi dimana atlet memiliki peluang untuk mencapai prestasi. Hubungan antara pelatih atlet yang dibina harus merupakan hubungan yang mencerminkan kebersamaan pandangan dalam mewujudkan apa yang dicita-citakan.
Seorang pelatih dituntut mampu mejalani profesinya dengan tidak semata-mata bermodalkan dirinya sebagai bekas atlet, melainkan harus melengkapi dirinya dengan seperangkat kompetensi pendukung yang penting, diantaranya adalah kemampuan untuk mentransfer pengetahuan keolahragaannya kepada atlet secara lengkap baik dari segi teknik, taktik, maupun mental.
Kemampuan untuk mengorganisir dinamika mental atlet merupakan hal yang sangat penting untuk dikuasai pelatih. Kompetensi ini akan lebih banyak terlihat ketika dirinya menghadapi suasana kompetensi yang penuh dengan tekanan. Pengalaman akan menjadi modal utama dalam menghadapi situasi ini.
Penguasaan kecabangan olahraga dan dalamnya pengalaman tidak serta merta akan menjadikan dirinya sebagai pelatih yang dihormati dan disegani kecuali jika dirinya sudah memiliki karakter dan filosofi sebagai seorang pelatih. Karakter adalah konsistensi sikap dan cara pandang dalam menghadapi suatu masalah. Sedangkan filosofi adalah bingkai kepribadian yang akan menjadi jembatan bagi aktualisasi seluruh komponen yang dimiliki agar apa yang dilakukan dapat diterima oleh orang lain.
Dengan memiliki filosofi seorang melatih akan dapat memiliki pegangan ketika menjalankan tugas profesionalnya.



Pelatih yang dihormati (Respecting Coach)
Jose “the special one” Mourinho, adalah salah satu dimana seorang pelatih tidak memiliki modal sebagai mantan pemain terkenal. Tapi sekarang ini dia adalah pelatih termahal dan paling dihormati karena memiliki karakter dan kepribadian yang dapat menjadi senjata bagi atlet yang dilatihnya.
Contoh diatas menggambarkan bahwa seorang pelatih disamping dituntut untuk menguasai teknik kecabangan juga dituntut untuk dapat berperan sebagai pendamping atlet dalam upaya untuk meningkatkan prestasi. Berbekal dari kondisi ideal dan tuntutan kualitas tersebut maka pelatih harus memiliki filosofi kepelatihan yang berisi aspek-aspek kepribadian yang mendasari semua tindakan dalam melakukan tugasnya sebagai seorang pelatih.
Agar menjadi seorang pelatih yang dihargai oleh orang lain (respecting coach) atau pelatih yang disegani maka seseorang harus memiliki 3 aspek penting yaitu:
1. Pengetahuan (knowledge)
2. Pengalaman (experience)
3. Karakter (caracter)
1. Pengetahuan
Pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang pelatih terutama pengetahuan tentang cabang olahraga yang digeluti Selain harus mengetahui ilmu mengenai kecabangan olahraganya, mereka juga harus mendalami ilmu penunjang seperti ilmu Periodisasi latihan, Biomekanika, Faal olahraga, Gizi, Psikologi olahraga. .
Mendalami karakter cabang olahraga adalah mutlak, sehingga tidak akan salah dalam membina karakter atlit yang tentunya akan disesuaikan dengan kebutuhan kecabangannya .
2. Pengalaman.
Setelah mendalami semua ilmu diatas, masuklah pada masa praktek untuk menemukan efisiensi dari keilmuannya . Dengan mengalami salah benar . Akhirnya mereka akan menemukan “ Filosophy Kepelatihannya “ sendiri .
Menerapkan strategi hasil pengayaan dari beberapa buku dan pendapat para pakar, secara otomatis akan mendapatkan atau menemukan strategi andalannya dalam melatih Kemampuan menanggulangi berbagai masalah baik teknis maupun non- teknis juga merupakan keunikan tersendiri. Dari hasil pengalaman memimpin team di berbagai event yang diikutinya akan didapatkan nilai “ Art of Coaching “ yang akan selalu menjadi cirikhasnya dalam melatih dan memimpin tim.
3. Karakter .
Dengan menyadari sepenuhnya bahwa didalam dunia kepelatihan unsur-unsur yang mengandung nilai positif harus selalu diketengahkan, maka otomatis akan membentuk kepribadian yang kuat dalam membina atlitnya .
Mengerti akan sifat dan karakter anak didiknya, tentunya akan membantu banyak dalam tugas kesehariannya menghadapi atlitnya baik selama masa latihan maupun pertandingan . Hubungan yang kondusif ini dimana dia mampu bertindak sebagai orang tua atlet maupun pelayan akan membuat nilai kepribadiannya sebagai pelatih akan semakin tinggi .Karena kemampuannya menilai semua hal secara objective tidak subjective sebagaimana perasaan ayah kepada anaknya atau adiknya atau tuannya .

Kepribadian seorang pelatih dapat pula membentuk kepribadian atlet yang menjadi asuhannya. Hal terpenting yang harus ditanamkan pelatih kepada atletnya adalah bahwa atlet percaya pada pelatih bahwa apa yang diprogramkan dan dilakukan oleh pelatih adalah untuk kebaikan dan kemajuan si atlet itu sendiri. Untuk bisa mendapatkan kepercayaan tersebut dari atlet, pelatih tidak cukup hanya memintanya, tapi harus membuktikannya melalui ucapan, perbuatan dan ketulusan hati. Sekali atlet mempercayai pelatih, maka seberat apapun program yang dibuat pelatih akan dijalankan oleh si atlet dengan sungguh-sungguh.

Filosofi kepelatihan
Dalam membentuk filosofi dalam bentuk karakter yang kuat pada diri seorang pelatih menggunakan berbagai cara, dan berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun, dimulai dengan pengalaman pribadi saat menjadi atlet, mengamati berbagai macam pertandingan, dan akan berlanjut disaat mempelajari lebih dalam tentang sebuah permainan dan penerapannya kepada atlit.
Filosofi pada hakekatnya adalah:
1. Upaya mengejar kearifan yang akan menolong dan menjawab pertanyaan dasar tentang apa, mengapa dan bagaimana
2. Filosofi menentukan cara/jalan dalam memandang sebuah obyek dan pengalaman dalam kehidupannya sebagai anggota masyarkat beserta interaksinya
3. Filosofi juga menentukan nilai-nilai yang dipegang menjadi pedoman dalam kehidupan
Mengapa filosofi dibutuhkan bagi seorang pelatih?
Ada sebuah cerita tentang seorang tua dan seorang anak muda beserta seekor keledainya yang akan menuju ke kota. Dalam perjalanan anak muda menunggangi keledai dan orang tua menuntun keledainya, sampai di sebuah tempat bertemu dengan seseorang dan mengatakan “ alangkah tidak baiknya seorang anak muda tega menaiki keledai sementara orang tua menuntun di bawahnya”. Mendengar kata-kata tersebut, maka orang tua segera menyuruh anak muda untuk turun dan tempatnya digantikan oleh orang tua, jadilah orang tua yang naik keledai sementara anak muda menuntunnya. Ketika melintasi suatu tempat seseorang mengatakan “ orang tua yang tidak bijak dan ingin enaknya sendiri membiarkan anak muda menuntun keledai padahal dia belum berpengalaman. Dari dua komentar yang dia dapatkan selama perjalanan maka ia berfikir mungkin sebaiknya dia bersama anak muda sama-sama menuntun keledai, akhirnya dituntunlah keledai itu bersama-sama hingga di satu tempat bertemu dengan seseorang yang berkata ” sungguh bodoh orang punya kendaraan / keledai tidak digunakan. Maka orang tua itupun berfikir hingga dia menemukan cara yang baru yaitu bersama-sama dengan anak muda menaiki keledai itu. Sampailah pada satu tempat lagi dimana dia bertemu dengan seseorang yang mengatakan bahwa keduanya tidak memiliki perasaan terhadap keledai sampai harus menaiki keduanya. Akhirnya orang tua dan anak muda tersebut sepakat untuk mengendong keledai tersebut. Akibatnya di sebuah jembatan sungai saat keduanya menyeberang terlepaslah tali keledai tersebut hingga keledai jatuh ke sungai, hilanglah keledai itu.
Inti cerita tersebut menggambarkan bahwa jika seseorang tidak memiliki filosofi maka ia tidak akan mampu bersikap yang benar dan selalu terombang-ambing pada keraguan sikap sehingga dia akan kehilangan “ass” (keledai/ pegangan )
Dari cerita diatas bahwa untuk menjadi pelatih dibutuhkan suatu filosofi dan filosofi tersebut memiliki porsi yang lebih banyak dari pengetahuan tentang olahraga. Dengan filosofi itu maka akan memelihara pelatih dari “ losing your ass” (kehilangan pegangann). Filosofi lebih dari sekedar pengetahuan tentang olahraga, filosofi akan menghilangkan ketidakpastian tentang :
1. aturan latihan
2. gaya dalam permainan
3. disiplin
4. code of conduct
5. pandangan terhadap sebuah pertandingan
6. tujuan jangka pendek dan panjang
7. dan berbagai segi kepelatihan

Pengembangan Filosofi
Dalam perjalanan kepelatihannnya seorang pelatih akan menghadapi tugas yang menantang dengan banyak keputusan sulit dan dilematis. Dalam suasana tersebut terjadilah proses pengembangan baik dari aspek teknis pengetahuan kepalatihannya maupun yang lebih utama adalah pengembangan filosofinya dalam melatih.
Serangkaian pengalaman dalam melatih akan menolong untuk membuat keputusan sulit dan dilematis dan menjadi seorang pelatih yang sukses. Tanpa pengembangan filosofi pelatih akan mengalami ketidakcukupan untuk memerintah secara cepat dan akan menyerah terhadap berbagai tekanan dari luar. Pengembangan filosofi memiliki beberapa komponen yang harus dilakukan oleh seorang pelatih dan menolong pelatih dalam membuat keputusan. Komponen pengembangan filosofi terdiri dari:
1. Kenali diri sendiri, kekuatan, kelemahan dan hal-hal yang memerlukan perbaikan
2. Mengetahui apa yang harus dilakukan jika ketika menghadapi kesulitan dan hambatan yang mungkin terjadi
3. Pemahaman tentang atlet , kepribadian mereka, kemampuan, tujuan, dan mengapa mereka dalam olahraga
Dengan proses pengembangan filosofi maka setiap pelatih akan dapat memahami sifat-sifat kepribadiannya sendiri untuk dapat menyadari kelemahan-kelemahannya dan selanjutnya berusaha mengatasi kelemahan tersebut. Dan pada hakekatnya tidak ada manusia yang sempurna, artinya pelatih harus menyadari bahwa upaya untuk mengatasi kekurangan yang ada pada dirinya selalu perlu dilakukan

Kesadaran diri (self-Awarenes)
Seringkali kegagalan dalam melatih dan karier terjadi, karena kita gagal mengenali siapa diri kita sebagai pelatih yang sesungguhnya. Tidak jarang kita mengalami konflik emosional dan pertentangan batin karena apa yang dilakoni dan dikerjakan justru tidak sesuai dengan minat dan ke mampuan yang dimiliki. Sebaliknya, banyak orang yang cenderung mengejar kesuksesan hanya dengan berusaha meniru atau menjiplak orang lain.
Kurangnya self-awareness atau pengenalan terhadap diri sendiri sering membuat pelatih merasa tidak percaya diri, suka bersikap plin plan dan tidak punya prinsip yang kuat. Pelatih sulit menetapkan tujuan dan target yang ingin dicapai, karena banyak potensi dan bakat yang dimiliki hanya terpendam saja dan tidak dikembangkan. Self-awareness dapat dibangun dengan belajar memahami tipe karakter pribadi, pikiran dan perasaan yang ada, minat dan bakat yang dimiliki. Mengembangkan sikap kesadaran, penerimaan dan rasa menghargai diri sendiri. Menyadari kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dengan membangun sikap introspeksi dan learning attitude yang positif.
Dalam membangun kesadaran diri tidak terlepas dari konsep Three-selves, yaitu:
1. Ideal Self: berisi nilai-nilai normatif yang seharusnya dimiliki oleh seseorang yang merepresentasikan nilai-nilai, perasaan, moral kehidupan baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan lingkungannya.
2. Public self: gambaran umum orang lain pada diri seseorang berkaitan dengan sikap dan interaksi anda dalam masyarakat.
3. Real Self: Kondisi subjektif yang dimiliki seseorang berkaitan dengan perasaan, tingkah laku dalam realita kehidupan.


Menghargai diri sendiri (Self- Esteem)
Self-esteem dapat diartikan sebagai suatu perasaan di mana seorang pelatih merasa dirinya berharga dan merasa bangga terhadap dirinya. Self esteem atau harga diri sebagai penentu perilaku merupakan dasar bagi pertumbuhan positif dan perasaan berharga dalam hubungan kemanusiaan, belajar dan tanggung jawab. Dalam menjalankan profesinya seorang pelatih perlu memiliki self esteem atau harga diri yang tinggi. Self esteem atau harga diri yang tinggi penting dimiliki karena taraf harga diri akan mempengaruhi perilaku kerja individu, self-esteem akan nampak pada diri pelatih ditandai dengan:
1. Potensi kekuatan yang dimiliki
2. Kemampuan berkomunkasi
3. Penampilan

Keterbukaan (self – Disclosure)
Dalam menjalin komunikasi baik dengan atlet maupun dengan orang lain , pelatih pada dasarnya melakukan pengungkapan diri sendiri. Namun, pengungkapan diri tersebut mungkin saja baru sampai pada sisi-sisi terluar dari kemampuan dirinya. Ketika situasi komunikasi antar pribadi terbentuk dan pelaku komunikasi berkeinginan mempengaruhi jalannya komunikasi maka self-disclosure berlangsung. Apalagi apabila komunikasi antar pribadi itu merupakan komunikasi di antara dua orang yang sudah akrab (pelatih dengan atlet) maka self-disclosure itu akan berlangsung hingga bisa tersingkapkan bagian-bagian diri yang terdalam.
Self-disclosure itu bersifat timbal balik atau ada juga yang menyatakan, dalam komunikasi, self-disclosure itu bersifat simetris. Masing-masing orang yang terlibat dalam komunikasi itu akan saling menyingkapkan dirinya. Apabila saja salah satu pihak yang berkomunikasi itu tidak membuka dirinya maka self-disclosure tidak akan bisa berlangsung. Hal ini berarti bahwa dengan komunikasi yang intens dan hubungan yang baik antara atlet dan pelatih maka akan tejalin suatu keterbukaan yang kondusif.
Dengan demikian maka keterbukaan memiliki arti bagi pelatih adalah:
1. Keterbukaan menjamin seorang pelatih untuk dapat dikenali oleh orang lain dan mengenal orang lain
2. Sikap terbuka akan menjembatani komunikasi efektif dengan atlet.
Dengan mengembangkan filosofi kepelatihan melalui aspek kepribadiannya, seorang pelatih pada akhirnya akan dituntut untuk dapat mengaktualisasikan dalam perilaku profesional sebagai seorang pelatih.
Aktualisasi diri seorang pelatih akan terlihat ketika menjalin hubungan dengan atlet. Dalam proses pembinaan olahraga prestasi antara pelatih dan atlet harus dibangun hubungan yang serasi, artinya satu dengan yang lain harus mampu memposisikan sebagai obyek sekaligus subyek yang dikenai perlakuan, sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan tujuan yang telah ditetapkan bersama berupa prestasi puncak.
Dan pada hakekatnya apabila seseorang sudah berniat menjadi seorang pelatih salah satu cabang olahraga, maka sebenarnya ia sudah harus mempersiapkan dirinya untuk menjadi contoh yang baik daripada atlit yang dilatihnya, seorang pelatih yang baik dalam memiliki ciri-ciri diantaranya sebagai berikut :
a. memiliki Kemampuan profesional sebagai pengajar
b. Mengetahui cara melatihnya
c. Memiliki kepribadian yang baik
d. Memiliki karakter yang baik

Hubungan Pelatih dengan Atlet.
Phill Jackson pelatih Bola basket LA Lakers memandang bahwa kunci keberhasilan seorang pelatih adalah bagaimana ia dapat memberikan rasa percaya diri dan aman kepada atlet saat atlet bertanding, Rhonda Revelle pelatih soft ball University of Nebraska USA, memiliki pandangan bahwa seorang pelatih harus memandang atlet bukan semata-mata sebagai atlet tetapi sebagai manusia yang utuh yang memilki permasalahan dan kelebihan. Dua pandangan pelatih kaliber internasional tersebut memberikan gambaran bahwa fungsi pelatih dalam olahraga disamping mempunyai fungsi sebagai pembuat atau pelaksana program latihan, juga dapat sebagai motivator, konselor, evaluator dan yang bertanggung jawab terhadap segala hal yang berhubungan dengan kepelatihan tersebut.
Sebagai manusia biasa, pelatih sama halnya dengan atlet, mempunyai kepribadian yang unik yang berbeda antara satu dengan lainnya. Setiap pelatih memiliki kelebihan dan kekurangan, karena itu tidak ada pelatih yang murni ideal atau sempura. Untuk itu maka dalam mengisi peran sebagai pelatih, seseorang harus melibatkan diri secara total dengan atlet asuhannya. Artinya, seorang pelatih bukan hanya berhubungan masalah atau hal-hal yang berkaitan dengan olahraganya saja, tetapi pelatih juga harus dapat berperan sebagai teman, guru. orangtua, konselor, bahkan psikolog bagi atlet asuhannya. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa atlet sebagai seorang yang ingin mengembangkan prestasi, akan mempunyai kepercayaan penuh terhadap pelatihnya.
Terjadinya hubungan yang mendalam antara pelatih dengan atlet asuhannya harus dilandasi oleh adanya empati dari pelatih terhadap atletnya tersebut. sifat ini merupakan kemampuan pelatih untuk dapat menghayati perasaan atau keadaan atletnya, yang berarti pelatih dapat mengerti atletnya secara total tanpa ia sendiri kehilangan identitas pnbadinya. Untuk mengerti keadaan atlet dapat diperoleh dengan mengetahui atau mengenal hal-hal penting yang ada pada atlet yang bersangkutan.
Hubungan profesional pelatih dengan atlet yang dipengaruhi oleh sifat atau kepribadian pelatih akan merujuk pada satu tipe kepelatihannya. Adapun jenis atau tipe pelatih adalah:
1. Pelatih yang Otoriter ( Comand style, Dominating Coach, the dictator, ototriter)
Tipe pelatih yang paling umum, utamanya pada olahraga beregu, seperti bolabasket. Karakteristik yang menonjol adalah disiplin dan agresif. Pelatih ini akan selalu terjebak dalam situasi "Do or Die" (memaksakan kehendak), akan tetapi dapat menumbuhkan perhatian atlit dalam berlatih. Tipe ini biasanya terorganisasi dan terencana dengan baik, menuntut perhatian penuh dari atlit dan diwarnai adanya hukuman-hukuman dalam menegakkan disiplin yang diterapkan. Keuntungan tipe pelatih ini adalah terciptanya suasana yang disiplin dan mendukung pencapaian prestasi serta menimbulkan dedikasi untuk mencapai tujuan. Sedangkan kelemahannya adalah terlalu sensitif dan rentan konflik, apalagi jika terjadi kekalahan beruntun.
2. Pelatih yang Demokratis (Cooperative style, Personable Coach)
Ini adalah tipe pelatih yang "Nice Guy" yang disenangi seluruh anggota tim dikarenakan fleksibel dan kreatif dalam pendekatan kepada atlit dan penuh perhatian dengan menganggap atlit sebagai individu yang berberbeda dalam perlakuannya. Keuntungan yang didapat adalah iklim atau suasana saling menghormati dan hubungan yang berkualitas yang kadang akan memunculkan hasil di luar dugaan. Setiap orang yang termasuk dalam tim sangat menikmati peran dan sumbangannya terhadap tim. Sedangkan kerugian karena terlalu fleksibel dan keterbukaan pelatih dapat disalahgunakan oleh atlit, sehingga hal ini akan nampak berubah menjadi "kelemahan"
3. Pelatih yang Santai (Submissive style, Casual Coach, the baby sister)
Tipe pelatih yang "Easy Going", nyantai, pasif dan mengurangi keterlibatannya dalam tim. Hal ini akan tercermin dengan tidak adanya komitmen tim. Pelatih ini terbiasa mempersiapkan diri dan segala sesuatunya tidak terencana, sehingga ia hanya berperan sebagai konsultan, keuntungannya atlit dituntut untuk mengembangkan kemandiriannya daripada menunggu dan menguntungkan pelatih. Suasana yang santai menghindari dari suasana yang penuh tekanan, tapi kerugiannya persiapan tim biasanya tidak mencukupi dalam menghadapi even, dikarenakan tidak adanya rencana yang matang, hal yang paling menonjol adalah tingkat kemampuan fisik yang sangat rendah. Efek dari sikap santai ini akan menimbulkan hilangnya kewibawaan seorang pelatih
Dengan mengacu pada teori kepribadian dan kemampuan komunikasi maka pelatih yang baik adalah:
1. Pelatih merupakan suri tauladan dengan penuh kejujuran bagi atletnya
2. Pelatih bisa menjadi "Pengikut" dan "Pendengar" yang baik
3. Pelatih bisa mendisiplinkan atlit
4. Pelatih bisa mengoreksi dan mau dikoreksi
5. Pelatih berfungsi sebagai ahli Psikologi bagi atlet
6. Pelatih berfungsi sebagai teman dan pembimbing (curhat)
7. Pelatih berfungsi sebagai pengganti orang tua
8. Pelatih professional yang ditandai oleh kinerja mereka selain didasarkan berdasarkan pengalaman sebagai pemain pada salah satu cabang olahraga juga memiliki ilmu pengetahuan yang dapat menunjang kelancaran dalam melaksanakan tugasnya.
9. Konsisten
10. Kridibel
11. Sensitif
12. Menghindari sindiran tajam
13. Penuh rasa humor

Penutup
Gambaran diatas menunjukan bahwa sosok pelatih yang memiliki filosofi adalah pelatih yang dapat mengerahkan semua potensi kepelatihannya dalam tindakan nyata dalam upaya mendampingi atlet mencapai tujuan prestasi yang diinginkan. Secara rinci dapat di simpulkan:
1. Memiliki Filosofi adalah kunci menuju karir seorang pelatih
2. Belajar mengenali diri sendiri dan berfikir tentang masalah yang penting adalah pedoman kerja seorang pelatih.
3. Sifat terbuka akan menolong pelatih dalam berhubungan dengan atlet
4. Tukar fikiran berkaitan dengan filosofi akan menolong atlet-atlet untuk dapat pula mengembangkan filosofinya.
5. Resep yang paling utama dari pelatih adalah keyakinan bahwa dirinya memiliki filosofi.
6. Filosofi tidak akan nampak dari perkataan tapi dari perbuatan

Bahan Rujukan:
Morris, Summers, 1995. Sport Psychology , theory applications and Issues, John Wiley and Sons. Sydney
Rainer, Martens, 2004. Succesful Coaching. Human Kinetics
Roberts Weinber, Daniel Gould, 1995. Foundations of Sport and Exercise Psychology. Human Kinetics.

Prof. Dr. Tandiyo Rahayu, M.Pd : Membangun Olahraga di Jawa Tengah.


Bila prestasi olahraga di Indonesia tidak kunjung menampakkan geliatnya dan dikatakan mengalami stagnasi, rasanya sudah bukan merupakan suatu sinyalemen, tetapi sudah menjadi kenyataan yang patut dicermati bersama. Prestasi yang tak kunjung beranjak atau malah semakin terpuruk, pembibitan yang belum berjalan karena kurangnya ‘pupuk dana dan SDM’, dan organisasi serta manajemen yang tak kunjung profesional dan mandiri, serta perilaku pelaku dan penonton yang kurang berbudaya, merupakan fenomena yang sehari-hari dapat kita ikuti dan cermati bersama melalui media massa.

Sebagian birokrat dan teknokrat, mensinyalir bahwa semua ‘petaka’ ini merupakan imbas kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya (poleksosbud) kita akhir-akhir ini. Pendapat ini sedikit banyak ada benarnya, mengingat eksisitensi olahraga memerlukan dana yang sangat besar dan tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari pengaruh poleksosbud. Namun demikian, mengkambinghitamkan kondisi poleksosbud sebagai penyebab berhentinya geliat dunia olahraga di Indonesia, tidaklah sepenuhnya dapat dibenarkan dan rasanya kurang bijak. Sebab, buah tak sedap yang harus kita panen saat ini merupakan ‘hasil’ dari perjalanan pembinaan yang sangat panjang dan merupakan akibat dari bagaimana dan di mana kita menempatkan olahraga dalam tatanan kehidupan.

Dalam banyak kesempatan sejumlah pakar olahraga Indonesia telah memberikan analisis dan penilaian terhadap kondisi pembinaan keolahragaan di republik ini. Hampir semua sepakat bahwa pola pembinaan olahraga di Indonesia cenderung hanya mengedepankan aspek ketahanan dan keunggulan fisik dan nyaris mengabaikan aspek lain yang berdampak pada perkembangan psikis dan kognisi atlet. Olahraga, apalagi olahraga kompetitif bukan semata-mata aktivitas fisik. Sebab ‘pertarungan’ di arena pertandingan atau perlombaan juga membutuhkan ketahanan psikis dan kognisi yang prima. Sayangnya di Indonesia kesadaran mengenai hal ini baru sebatas pada ‘tahu’ dan belum tampak ada upaya untuk menerapkannya dalam proses pembinaan. Pemujaan terhadap keunggulan fisik dalam olahraga rasanya sudah amat sangat ketinggalan jaman. Dan sekali lagi sayangnya, inilah yang masih terus dilakukan dan dipertahankan oleh masyarakat olahraga kita. Hasil tes fisik, adalah satu-satunya indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan latihan, dan ini rasanya berlaku di tingkat daerah hingga nasional.

Akibat dari ‘pemujaan’ ketahanan dan keunggulan fisik yang terlalu berlebihan dan berlangsung sekian lama ini, sudah kita petik buahnya saat ini. Tidak banyak atlet kita yang mampu survive di arena olahraga tingkat tinggi, meskipun kondisi fisiknya sangat prima. Karena olahraga tingkat tinggi, benar-benar membutuhkan ketahanan psikis dan keterampilan serta keunggulan kognisi, aspek yang terbaikan oleh para pembina kita saat ini.

Di samping soal pembinaan, rasanya perlu juga menelaah kembali di mana dan bagaimana kedudukan olahraga dalam masyarakat kita saat ini. Untuk itu, kita perlu benar-benar kembali menengok ke belakang. Di saat usia bangsa ini masih sangat muda, Bapak Bangsa Presiden Soekarno mengambil keputusan untuk menggunakan olahraga sebagai media guna mengenalkan keberadaan bangsanya ke dunia internasional. Suatu ‘kedudukan’ yang membanggakan bagi dunia olahraga Indonesia. Dibangunlah Kompeks Stadion Senayan untuk menyambut duta-duta bangsa dalam pesta olahraga. Kompleks yang sangat megah dan dilengkapi dengan sarana penampungan atlet yang sejuk dan representatif sebagai tempat bermukim para atlet. Hingga bertahun-tahun kemudian, rasanya para atlet dari Sabang sampai Merauke pernah merasakan nikmatnya tinggal di perkampungan atlet Senayan. Di kala itu, sejauh yang dapat diketahui, rasanya kondisi poleksosbud Indonesia juga tidak dalam keadaan yang prima malah cenderung tertatih-tatih, namun keputusan pemerintah yang secara nyata mengangkat derajat olahraga sebagai media untuk menunjukkan eksistensi bangsa merupakan cermin yang dapat merefleksikan bagaimana kedudukan olahraga dalam masyarakat Indonesia saat itu.

Hal yang nyaris sama juga pernah dirasakan di Semarang, di awal tahun 70an, berdiri megah Gedung Olah Raga (GOR) di kawasan Simpang Lima. Gedung megah kebanggaan Semarang yang menjadi pusat kegiatan olahraga. Di saat gedung itu masih berdiri, masyarakat olahraga Semarang boleh berbangga hati melihat maraknya kegiatan olahraga, kompetisi antar klub dari berbagai cabang olahraga susul menyusul di selenggarakan di GOR yang selalu dipadati penonton. Di kala jeda kompetisi, gedung tersebut juga senantiasa disemarakkan oleh bunyi ‘gedebak-gedebuk’ orang berlatih bola basket, bola voli atau bulutangkis.

Dan apa yang dapat kita jumpai saat ini? Kompleks perkampungan atlet di Senayan Jakarta telah berubah wujud penjadi plaza megah yang isinya bahkan nyaris tak terjangkau oleh kalangan menengah, dan GOR Simpang Lima juga sudah berwujud hotel mewah dan pertokoan. Olahraga telah dikorbankan atau menjadi korban boom ekonomi, sebab justru di saat pembangunan ekonomi sedang berjaya, olahraga sudah tidak lagi menjadi prioritas.

Inilah ironi kedudukan olahraga dalam masyarakat Indonesia saat ini. Di dalam GBHN, olahraga dikatakan sebagai media untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, satu-dua atlet yang berprestasi di tingkat nasional atau internasional dihujani puja-puji karena mengharumkan nama bangsa. Jargon “melalui olahraga, kebanggaan sebagai bangsa dapat diraih”, merupakan jargon yang dengan fasih dikemukakan oleh para pejabat dan pemuka masyarakat. Namun dalam keseharian, olahraga tidak cukup memiliki ruang dan kesempatan untuk bergerak dan berkembang. Oleh sebab itu, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, situasi poleksosbud negara akhir-akhir ini bukan merupakan satu-satunya kondisi yang dapat dijadikan sebagai alasan terhadap mandegnya prestasi olahraga. Lebih dari itu, karena masyarakat Indonesia memang belum atau tidak lagi mendudukkan olahraga sebagai hal yang patut diberi perhatian.

Merujuk pada fenomena seperti yang telah dikemukakan di atas, dapat dikemukakan kerangka permasalahan yang diharapkan dapat menjadi titik tolak kebangkitan keolahragaan di Indonesia pada umumnya, dan di Jawa Tengah/ Semarang pada khususnya. Permasalahan utama yang dapat dikemukakan adalah apa atau bagaimana sebenarnya makna dan kedudukan ‘olahraga’ dalam tatanan masyarakat di Semarang/Jawa Tengah? Rumusan jawaban dari permasalahan ini seyogyanya digunakan sebagai “landasan dan titik tolak” grand design pembangunan olahraga. Olahraga yang merupakan terjemahan dari konsep sport dalam format olympic sport dengan seperangkat nilai-nilai yang menyertainya, sebenarnya merupakan ‘produk impor’ yang tidak memiliki akar dalam budaya masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk menggali bagaimana sebenarnya makna dan kedudukan olahraga dalam masyarakat kita. Dengan demikian diharapkan bangunan olahraga yang dirancang di atas landasan pemahaman yang tepat, akanmenjadi fit and proper dengan kondisi dan aspirasi masyarakat setempat.

Selain permasalahan utama yang telah dirumuskan, model pembangunan olahraga yang telah berlangsung selama ini di Indonesia/Jawa Tengah/Semarang, juga belum menggunakan pendekatan ilmiah dan faktual dalam proses penyusunannya. Untuk itu perlu pula diajukan pertanyaan tentang bagaimana karakteristik dan potensi keolahragaan di Semarang/Jawa Tengah? Dan apa cabang olahraga unggulan yang tepat dan sesuai dengan karakteristik dan potensi yang dimiliki masyarakat Semarang/Jawa Tengah. Jawaban dari dua pertanyaan di atas, diharapkan dapat mengisi dan menjadi pilar utama dalam merencanakan bangunan olahraga bagi Semarang/Jawa Tengah.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana makna dan kedudukan/posisi olahraga dalam tatanan masyarakat kota semarang/jawa tengah?
2. Bagaimana karakteristik dan potensi keolahragaan di semarang/jawa tengah?
3. Apa cabang olahraga unggulan yang sesuai bagi kota semarang/jawa tengah?

IMPLEMENTASI KULTURAL DALAM PENDIDIKAN JASMANI


Pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan secara umum dan merupakan salah satu dari subsistem-subsistem pendidikan. Pendidikan jasmani dapat didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan melalui aktifitas fisik.
Sebagaimana diterapkan dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan termasuk pendidikan jasmani di Indonesia adalah pengembangan manusia Indonesia seutuhnya ialah manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pendidikan jasmani adalah satu-satunya bidang studi yang memiliki kelengkapan sebagai pendidikan yang utuh yang melibatkan tiga domain penting tujuan pendidikan yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, sehingga pendidikan jasmani memiliki arti yang cukup representatif dalam mengembangkan manusia dalam persiapannya menuju manusia yang seutuhnya.
Tujuan Pendidikan jasmani di Indonesia secara umum adalah menciptakan keselarasan antara kualitas fisik dan perkembangan mental , yang harus diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan .
Pendidikan jasmani mempunyai tujuan pendidikan sebagai (1) perkembangan organ-organ tubuh untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani, 2) perkembangan neuro muskuler, 3) perkembangan mental emosional, 4) perkembangan sosial dan 5) perkembangan intelektual.
Dengan demikian maka peran menentukan dalam pencapaian tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia; Baron Piere de Coubertin mengatakan hanya orang-orang yang memiliki kebajikan moral seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang berguna.
Dari kondisi diatas maka fungsi Pendidikan Jasmani dan olahraga merupakan ‘alat’ pendidikan, sekaligus sebagai upaya pembudayaan. Proses ini merupakan sebuah syarat yang memungkinkan manusia mampu terus mempertahankan kelangsungan eksistensi hidupnya sebagai manusia.
Pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan secara umum. Ia merupakan salah satu dari subsistem-subsistem pendidikan. Pendidikan jasmani dapat didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan melalui gerakan fisik. Telah menjadi kenyataan umum bahwa pendidikan jasmani sebagai satu kenyataan umum bahwa pendidikan jasmani sebagai satu substansi pendidikan mempunyai peran yang berarti mengembangkan kualitas manusia Indonesia.

Dimensi Budaya dalam Pendidikan Jasmani
Kultur gerak adalah istilah yang digunakan di Eropa untuk menyebut kecenderungan dan kebiasaan bergerak untuk memenuhi undangan dari lingkungan atau alam, atau kondisi yang tertangkap oleh seorang individu. Kultur gerak dengan demikian lebih luas maknanya dari olahraga, yang lebih sering diartikan sebagai aktivitas fisik yang dibatasi oleh kaidah-kaidah gerak tertentu. Istilah kultur gerak disinggung oleh Crum (2003), yang menghubungkan fungsi dan kedudukan pembelajaran pendidikan jasmani dalam penumbuhan kultur gerak ini.
Mengutip pandangan J.J. Gibson (pendiri psikologi ekologis), Crum menekankan pentingnya pandangan fenomenologis yang memandang penting kedudukan dan peranan lingkungan dalam mengarahkan gerak manusia. Gibson sendiri mengetengahkan istilah affordances dalam menjelaskan fenomena gerak manusia. Dan menurut Crum, pendidikan jasmani dalam era mutakhir sekarang ini, diarahkanuntuk meningkatkan kebisaan dan kemampuan (affordances) tadi dalam menanggapi undangan alam untuk bergerak. Maksudnya adalah, persepsi manusia terhadap alam lingkungan menghasilkan keputusan tentang maksud dan tujuan gerak dilaksanakan. Dengan kata lain, lingkungan secara langsung mengarahkan bentuk dan maksud gerak yang dilakukan seseorang (Lutan, 2005).
Bertolak dari pandangan tersebut, maka kompetensi gerak yang akan dibekalkan kepada anak-anak dalam pendidikan jasmani tidak semata-mata untuk mempersiapkan anak agar berkompeten dalam berolahraga saja, melainkan bermakna lebih luas sehingga mencakup ragam pengalaman gerak yang bermakna untuk menyesesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dan situasi sosial yang selalu berubah. Agar anak-anak memiliki kemampuan untuk selalu merespons dan ‘berdialog’ dengan tepat dengan alam lingkungan, maka materi utama pendidikan jasmani pun harus selalu menyediakan tantangan dan permasalahan (problems) gerak untuk dipecahkan.
Tantangan atau masalah tersebut dalam batas-batas tertentu dapat dibedakan ke dalam empat wilayah, yaitu wilayah technomotor problems, sociomotor problems, cognitive reflective problems, dan affective problems (Crum, 2006). Dengan pembiasaan tersebut, diharapkan anak akan mengadopsi kemampuan (affordances) untuk selalu siap menerima tantangan dan permasalahan gerak yang selalu disediakan lingkunganuntuk secara aktif direspons dengan efektif.
Dalam konteks pendidikan secara umum, Pendidikan adalah segenap upaya yang mempengaruhi pembinaan dan pembentukkan kepribadian, termasuk perubahan perilaku, karena itu pendidikan jasmani dan olahraga selalu melibatkan dimensi sosial dan budaya , disamping kriteria yang bersifat fisikal yang menekankan ketrampilan, ketangkasan dan unjuk “kebolehan’. Dimensi sosial budaya ini melibatkan hubungan antar orang, baik sebagai pendidik, peserta didik maupun dengan lingkungan masyarakat sekitar.
Kondisi saat ini ketika masyarakat Indonesia menghadapi permasalahan perekonomian yang berkepanjangan, tidak terlepas dari etika dan moral bangsa yang sudah ‘bobrok’, budaya bangsa yang luhur mulai telah terkikis sedikit demi sedikit. Anak banyak yang tidak menghargai gurunya bahkan orang tuanya.
Fenomena dalam pendidikan jasmani saat ini, banyak anak yang enggan mengikuti pelajaran pendidikan jasmani karena terkesan membosankan dan menjemukan. Hal ini dikarenakan berbagai sebab diantaranya adalah masih ada pemahaman yang tidak tepat akan arti dan makna pendidikan jasmani sebagai mata pelajaran di sekolah baik dikalangan guru maupun masyarakat umum.
Konsep pendidikan jasmani terfokus pada proses sosialisasi atau pembudayaan via aktifitas jasmani, permainan dan olahraga. Proses sosialisasi berarti pengalihan nilai-nilai budaya, perantaraan belajar merupakan pengalaman gerak yang bermakna dan memberi jaminan bagi partisipasi dan perkembangan seluruh aspek kepribadian peserta didik. Perubahan terjadi karena keterlibatan peserta didik sebagai aktor atau pelaku melalui pengalaman dan penghayatan secara langsung dalam pengalaman gerak sementara guru sebagai pendidik berperan sebagai “pengarah” agar kegiatan yang lebih bersifat pendewasaan itu tidak meleset dari pencapaian tujuan.

Implementasi pendekatan budaya melalui pengajaran etika dan moral
Pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, karena dalam pendidikan jasmani menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan mengembangan karakter. Salah satu pengajaran yang penting dalam pendidikan jasmani adalah pengajaran etika, yang biasanya dengan contoh atau perilaku. Pengajar tidak baik berkata kepada muridnya untuk memperlakukan orang lain secara adil kalau dia tidak memperlakukan muridnya secara adil.
Selain dari pada itu pendidikan jasmani dan olahraga begitu kaya akan pengalaman emosional. Aneka macam emosi terlibat di dalamnya. Kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga yang berakar pada permainan, ketrampilan dan ketangkasan memerlukan pengerahan energi untuk menghasilkan yang terbaik.

Istilah etika dan moral secara etimologis, kata ethics berasal dari kata Yunani, ethike yang berarti ilmu tentang moral atau karakter. Studi tentang etika itu secara khas sehubungan dengan prinsip kewajiban manusia atau studi tentang semua kualitas mental dan moral yang membedakan seseorang atau suku bangsa. Moral berasal dari kata Latin, mos dan dimaksudkan sebagai adat istiadat atau tata krama. (Rusli Lutan)
Etika tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dimana yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. (Franz Magnis Suseno,1989). Lebih lanjut dikatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Untuk memahami etika, maka kita harus memahami moral.
Selanjutnya Suseno mengatakan bahwa Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggung jawabab dan mau menyingkapkankan ke rancuan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan di pertanggung jawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.
Dalam pengajaran etika aspek pengembangkan diri merupakan hal yang penting, Orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani tidak asing baginya, yaitu nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung jawab moral, estetis dan religius. Etika merupakan pelajaran dari tingkah laku ideal dan pengetahuan antara yang baik dan buruk. Etika juga menggambarkan tindakan yang benar atau salah dan apa yang harus orang lakukan atau tidak. Etika penting karena merupakan kesepakatan pada kebiasan manusia, bagaimana modelnya, bagaimana ia menunjukkan dirinya sendiri, dengan segala sisi baik dan buruk.
Etika mendasari tentang cara melihat dan mempromosikan kehidupan yang baik, tentang mendapatkannya, merayakannya dan menjaganya. Etika terkait dengan nilai-nilai pemeliharaan seperti kebenaran, pengetahuan, kesempurnaan, persahabatan dan banyak nilai-nilai lainnya. Etika juga mengenai rasa belas kasih dan simpati, tentang memastikan kehidupan baik berbagi dengan lainnya, etika terkait dengan kepedulian terhadap yang lain, terutama yang tidak punya kedudukan atau kekuatan yang diperlukan untuk melindungi diri mereka sendiri atau jalan mereka.
Pendidikan Jasmani kental sekali dengan pengajara etika, seorang guru disamping senantiasa melandasi setiap meteri yang diajarkan dengan aspek fisik juga harus memberikan contoh tentang etika pergaulan bail dalam proses pengajaran maupun diluar pelajaran.
Sedangkan istilah moral dikaitkan dengan motif, maksud dan tujuan berbuat. Moral berkaitan dengan niat. Sedangkan etika adalah studi tentang moral. Sedangkan menurut Freeman etika terkait dengan moral dan tingkah laku. Lebih lanjut Scott Kretchmar menyatakan bahwa etika juga mengenai tentang rasa belas kasih dan simpati-tentang memastikan kehidupan yang baik berbagi dengan lainnya.
Suseno mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.

Selanjutnya dikatakan bahwa ada norma-norma khusus yang hanya berlaku dalam bidang atau situasi khusus. Seperti bola tidak boleh disentuh oleh pemain sepakbola, bila permainan berhenti maka aturan itu sudah tidak berlaku.
Perkembangan moral adalah proses, dan melalui proses itu seseorang mengadopsi nilai-nilai dan perilaku yang diterima oleh masyarakat . Pada dasarnya seseorang yang konsisten menginternalisasi norma dipandang sebagai seseorang yang bermoral. Dan percaya bahwa seseorang akan mencontoh perilaku orang lain sebagai model atau tauladan jika ia memiliki nilai dan sifat-sifat tertentu atau yang menunjukkan perilaku berlandasan nilai yang diharapkan.
Pemahaman moral berpengaruh langsung terhadap motivasi dan perilaku namun memiliki hubungan yang tak begitu kuat. Hubungan erat pada empati, emosi, rasa bersalah, latar belakang sosial, pengalaman. Suseno melihat terdapat tiga prinsip dasar dalam moral, yaitu prinsip sikap baik, prinsip keadilan dan prinsip hormat terhadap diri sendiri.
Prinsip sikap baik dimana prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain, dimana sikap yang dituntut dari kita adalah jangan merugikan siapa saja. Prinsip bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat mungkin mencegah akibat buruk dari tindakan.
Prinsip keadilan dimana keadilan tidak sama dengan sikap baik, demi menyelamatan gol dari serangan lawan, pemain belakang menahan dengan tangan, hal itu tetap tidak boleh dengan alasan apapun, berbuat baik dengan melanggar hak pihak lain tidak dibenarkan.
Prinsip hormat terhadap diri sendiri mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai suatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk berakal budi.
Pengajaran Etika dan Moral
Dalam mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh, pepatah mengatakan bahwa tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Lutan mengatakan Nilai Moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi, tugas .
Lebih lanjut dikatakan ada 4 nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal yaitu :
1. Keadilan.
Keadilan ada dalam beberapa bentuk ; distributif, prosedural, retributif dan kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian

keuntungan dan beban secara relatif. Keadilan prosedural mencakup persepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup persepsi yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu sebelumnya.
Seorang wasit bila ragu memutuskan apakah pemain penyerang berada pada posisi off-side dalam sepakbola, ia minta pendapat penjaga garis. Semua pemain penyerang akan protes, meskipun akhirnya harus dapat menerima, jika misalnya wasit dalam kasus lainnya memberikan hukuman tendangan penalti akibat pemain bertahana menyentuh bola dengan tanganya, atau sengaja menangkap bola di daerah penalti. Tentu saja ia berusaha berbuat seadil mungkin. Bila ia kurang yakin, mungkin cukup dengan memberikan hukuman berupa tendangan bebas.
2. Kejujuran.
Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya selalu terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindak dan perkataan.
Semua pihak percaya bahwa wasit dapat mempertaruhkan integritasnya dengan membuat keputusan yang fair. Ia terpercaya karena keputusannya mencerminkan kejujuran.
3. Tanggung Jawab.
Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang atlet harus bertanggung jawab kepada timnya, pelatihnya dan kepada permainan itu sendiri. Tanggung jawab ini merupakan nilai moral terpenting dalam olahraga.
4. Kedamaian

Kedamaian mengandung pengertian : a)tidak akan menganiaya, b)mencegah penganiayaan, c) menghilangkan penganiaan, dan d)berbuat baik.
Freeman dalam buku Physical Education and Sport in A cahanging Society menyarankan 5 area dasar dari etika yang harus diberikan yaitu : 1) Keadilan dan persamaan, 2) Respek terhadap diri sendiri. 3) Respek dan pertimbangan terhadap yang lain, 4) Menghormati peraturan dan kewenangan , 5) Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif. (Freeman,2001;210)
1. Keadilan dan Persamaan
Anak didik atau atlet adalah mengharapkan perlakuan yang adil dan sama. Anak didik ingin sebuah kesempatan untuk belajar yang sama. Seringkali anak didik yang di bawah rata-rata dalam olahraga diabaikan.
2. Respek terhadap diri sendiri
Pelajar atau atlet membutuhkan respek terhadap diri sendiri dan imej positif tentang dirinya untuk menjadi sukses. Pelatih dan pengajar yang melatih semua anak didiknya dengan sama mengambil langkah tepat dalam setiap arahnya agar anak didiknya merasa dirinya penting dan layak dimata pengajarnya.
3. Rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain.
Pelajar dan atlet membutuhkan rasa hormat kepada orang lain, apakah teman sekelasnya, lawan bertanding, guru ataupun pelatihnya. Mereka perlu belajar tentang bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat.
4. Menghormati peraturan dan kewenangan
Pelajar dan atlet perlu menghormati kewenangan dan peraturan, karena tanpa kedua hal ini suatu perhimpunan tidak akan berfungsi
5. Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif

Beberapa pertanyaan tentang gunanya berolahraga perlu dipertimbangkan diantaranya ; a) seberapa penting olahraga, b) apakah hubungan yang tepat antara olahraga dalam filosofi pendidikan kita?,c)Seberap penting suatu kemenangan dan d) apa yang menjadi integritas akademik kita?

Penutup
Bermain (play) adalah fitrah manusia yang hakiki sebagai mahluk bermain (homo luden), bermain suatu kegiatan yang tidak berpretensi apa-apa, kecuali sebagai luapan ekspresi, pelampiasan ketegangan, atau peniruan peran. Dengan kata lain, aktivitas bermain dalam nuansa riang dan gembira dalam pengajaran pendidikan jasmani menjadi warna gerak dari anak.
Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat belum tercemar.
Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat menyenangkan dan gembira ini merupakan bentuk permainan yang belum tercemar.
Dalam bermain pendidikan etika yang ada tidak mengenal pada suatu ajaran tertentu, karena anak bermain tidak melihat sisi religius teman dan bentuk permainan, karena tidak ada aturan dalam hal religus dalam bentuk permainan, pendidikan etika disini yang membetuk manusia yang baik dan kritis, sehingga proses pemberian pembelajarannya lebih bersifat mengembangkan daya pikir kritis dengan mengamati realitas kehidupan.
Seperti melihat harimau, maka anak akan meniru gaya harimau yang menerkam mangsa, simangsa sudah tentu adalah teman sepermainnya. Temannya akan berjuang mempertahankan dengan bergelut. Bermain dalam alam anak memberikan konsep anak bertanggung jawab terhadap permainan tersebut. Ketika terjadi “perselisihan” maka tanggung jawab anak terhadap permainan ini membantu dalam pengembangan moralnya.
Kita telah menyadari bahwa pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, oleh sebab itu guru pendidikan jasmani harus mencoba mengajarkan etika dan nilai dalam proses belajar mengajar, yang mengarah pada kesempatan untuk membentuk karakter anak.
Karakter anak didik yang dimaksud tentunya tidak lepas dari karakter dan budaya bangsa Indonesia serta kepribadian utuh anak, selain harus dilakukan oleh setiap orangtua dalam keluarga, juga dapat diupayakan melainkan pendidikan nilai di sekolah. Saran yang bisa diangkat yaitu :
1. Seluruh suasana dan iklim di sekolah sendirii sebagai lingkungan sosial terdekat yang setiap hari dihadapi, selain di keluarga dan masyarakat luas, perlu mencerminkan penghargaan nyata terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang mau diperkenalkan dan ditumbuhkembangkan penghayatannya dalam diri peserta didik. Misalnya, kalau sekolah ingin menanamkan nilai keadilan kepada para peserta didik, tetapi di lingkungan sekolah itu mereka terang-terangan menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan, maka di sekolah itu tidak tercipta iklim dan suasana yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai.
2. Tindakan nyata dan penghayatan hidup dari para pendidik atau sikap keteladanan mereka dalam menghayati nilai-nilai yang mereka ajarkan akan dapat secara instingtif mengimbas dan efektif berpengaruh pada peserta didik. Sebagai contoh, kalau guru sendiri memberi kesaksikan hidup sebagai pribadi yang selalu berdisiplin, maka kalau ia mengajarkan sikap dan nilai disiplin pada peserta didiknya, ia akan lebih disegani.
3. Semua pendidik di sekolah, terutama para guru pendidikan jasmani perlu jeli melihat peluang-peluang yang ada, baik secara kurikuler maupun non/ekstra kurikuler, untuk menyadarkan pentingnya sikap dan perilaku positif dalam hidup bersama dengan orang lain, baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam masyarakat. Misalnya sebelum pelajaran dimulai, guru menegaskan bila anak tidak mengikuti pelajaran karena membolos, maka nilai pelajaran akan dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA
Crum, Bart. (2003). To Teach Or Not To Teach. Paper. Presented on International
Conference on Physical Education and Sport Science. Bandung, 2003.

Crum, Bart (2006). Substantial View of The Body. Paper. Presented on In-Service Training on Didactic of Sport Games. Bandung, 2006.

Depdiknas, (2007), Naskah akademik Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan.
Pusat Kurikulum

Franz Magnis Suseno, (1987) Etika Dasar, Masalah-masalah pokok filsafat
moral. Yogyakarta: Perc. Kanisius, 1987.

Lutan , Rusli , (2001) Olahraga dan Etika Fair Play. Direktorat
Pemberdayaan IPTEK Olahraga, Dirjen OR, Depdiknas, Jakarta: CV.

Lutan, Rusli. (2005). Pendidikan Jasmani dan Olahraga Sekolah: Penguasaan Kompetensi
Dalam Konteks Budaya Gerak. Makalah. Disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Standar Kompetensi Guru Penjas. Cipayung. Direktorat Tenaga Kependidikan. Diknas. 2005.

Paedagogik Olahraga, Jurnal Sumber: http://por.sps.upi.edu

VISUAL COACHING


Menghasilkan seorang juara sejati dalam cabang olahraga tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat, atau diperoleh melalui jalan pintas. Dalil ini telah disepakati oleh para ahli olahraga di seluruh dunia. Oleh karena itu, apa bila kita sebagai pelatih ingin menghasilkan seorang juara, proses pembinaannya harus berjenjang dan berkelanjutan, serta dilakukan secara professional.

Profesionalisme seorang pelatih tidak saja ditunjukkan melalui kemampuannya melatih tetapi juga harus diikuti dengan penguasaan dan kualitas model serta jenis latihan yang sesuai dengan sasaran prestasi yang ingin dicapai. Jenis latihan dan model pelatihan semestinya tersusun secara sistematik, terukur, dan memperhatikan dasar-dasar fisiologis serta tertuang ke dalam sebuah program latihan yang komprehensif. Pelatih yang professional selain ditandai oleh kinerja optimal berdasarkan pengalaman sebagai atlet juga harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan yang dapat menunjang kelancaran dan keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas pelatihannya.

Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kepelatihan sudah menjadi keharusan karena merupakan tuntutan jaman. Berbagai peralatan teknologi sudah tersedia, tergantung bagaimana seorang pelatih memanfaatkannya. Teknologi yang telah berkembang saat ini meliputi: teknologi pengukuran potensi fisik, teknologi pengukur kualitas kinerja fisik dan teknologi kepelatihan serta teknologi peralatan olahraga. Salah satu teknologi yang sekarang tengah berkembang adalah pemanfaatan teknologi komputer sebagai media untuk melakukan analisis berbagai aspek yang berhubungan dengan prestasi olahraga, contohnya adalah perangkat lunak Visual Coaching Profesional.

DESKRIPSI SINGKAT VISUAL COACHING
Visual Coaching Profesional: (VCpro) adalah perangkat lunak yang dikembangkan para ilmuwan keolahragaan Australia. Perangkat ini ini berisi berbagai macam model latihan pengembangan fisik sesuai dengan kebutuhan atau tujuan latihan yang dilakukan.
Kebutuhan latihan yang dimaksud di antaranya meliputi:
1. Latihan dengan tujuan untuk melatih otot-otot tertentu (tubuh bagian atas, togok atau tubuh bagian bawah, tubuh bagian depan atau belakang)
2. Latihan dengan pembebanan tubuh sendiri
3. Latihan beban (Olympic style weightlifting)
4. Pengembangan power dan latihan plyometric
5. Latihan dengan kombinasi lari
6. Latihan di air
7. Peregangan pasif ( Stretches – passives)
8. Peregangan dinamis (Stretches – dynamics)
9. Massage
10. Latihan kombinasi
Di samping jenis latihan menurut kebutuhan seperti yang sudah diuraikan di atas, VCpro juga dapat menampilkan latihan dalam kondisi tertentu, seperti:
1. Latihan dalam bidang gerak (sagital, frontal, transversal)
2. Aktivitas khusus seperti: keseimbangan, kelincahan dll.
3. Tipe gerak (fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, tipe kontraksi)
4. Stance (gerak/posisi kaki)
Dalam bagian berikut ini akan dikemukakan beberapa tampilan penting dalam VCpro, meliputi:


Manfaat Penggunaan Perangkat Lunak VCpro:
1. Memuat sejumlah 6500 variasi latihan
2. Pemilihan variasi latihan dapat dilakukan berdasar kebutuhan dan faktor fisiologis yang diperlukan tiap cabang olahraga.
3. Penyusunan program latihan yang terpadu (harian, mingguan dan tahunan)
4. Dapat menganalisis program yang dibuat (kesesuaian dengan atlet)
5. Dapat digunakan dalam berbagai kebutuhan cabang olahraga.