Rabu, 07 April 2010

Prof. Dr. Tandiyo Rahayu, M.Pd : Membangun Olahraga di Jawa Tengah.


Bila prestasi olahraga di Indonesia tidak kunjung menampakkan geliatnya dan dikatakan mengalami stagnasi, rasanya sudah bukan merupakan suatu sinyalemen, tetapi sudah menjadi kenyataan yang patut dicermati bersama. Prestasi yang tak kunjung beranjak atau malah semakin terpuruk, pembibitan yang belum berjalan karena kurangnya ‘pupuk dana dan SDM’, dan organisasi serta manajemen yang tak kunjung profesional dan mandiri, serta perilaku pelaku dan penonton yang kurang berbudaya, merupakan fenomena yang sehari-hari dapat kita ikuti dan cermati bersama melalui media massa.

Sebagian birokrat dan teknokrat, mensinyalir bahwa semua ‘petaka’ ini merupakan imbas kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya (poleksosbud) kita akhir-akhir ini. Pendapat ini sedikit banyak ada benarnya, mengingat eksisitensi olahraga memerlukan dana yang sangat besar dan tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari pengaruh poleksosbud. Namun demikian, mengkambinghitamkan kondisi poleksosbud sebagai penyebab berhentinya geliat dunia olahraga di Indonesia, tidaklah sepenuhnya dapat dibenarkan dan rasanya kurang bijak. Sebab, buah tak sedap yang harus kita panen saat ini merupakan ‘hasil’ dari perjalanan pembinaan yang sangat panjang dan merupakan akibat dari bagaimana dan di mana kita menempatkan olahraga dalam tatanan kehidupan.

Dalam banyak kesempatan sejumlah pakar olahraga Indonesia telah memberikan analisis dan penilaian terhadap kondisi pembinaan keolahragaan di republik ini. Hampir semua sepakat bahwa pola pembinaan olahraga di Indonesia cenderung hanya mengedepankan aspek ketahanan dan keunggulan fisik dan nyaris mengabaikan aspek lain yang berdampak pada perkembangan psikis dan kognisi atlet. Olahraga, apalagi olahraga kompetitif bukan semata-mata aktivitas fisik. Sebab ‘pertarungan’ di arena pertandingan atau perlombaan juga membutuhkan ketahanan psikis dan kognisi yang prima. Sayangnya di Indonesia kesadaran mengenai hal ini baru sebatas pada ‘tahu’ dan belum tampak ada upaya untuk menerapkannya dalam proses pembinaan. Pemujaan terhadap keunggulan fisik dalam olahraga rasanya sudah amat sangat ketinggalan jaman. Dan sekali lagi sayangnya, inilah yang masih terus dilakukan dan dipertahankan oleh masyarakat olahraga kita. Hasil tes fisik, adalah satu-satunya indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan latihan, dan ini rasanya berlaku di tingkat daerah hingga nasional.

Akibat dari ‘pemujaan’ ketahanan dan keunggulan fisik yang terlalu berlebihan dan berlangsung sekian lama ini, sudah kita petik buahnya saat ini. Tidak banyak atlet kita yang mampu survive di arena olahraga tingkat tinggi, meskipun kondisi fisiknya sangat prima. Karena olahraga tingkat tinggi, benar-benar membutuhkan ketahanan psikis dan keterampilan serta keunggulan kognisi, aspek yang terbaikan oleh para pembina kita saat ini.

Di samping soal pembinaan, rasanya perlu juga menelaah kembali di mana dan bagaimana kedudukan olahraga dalam masyarakat kita saat ini. Untuk itu, kita perlu benar-benar kembali menengok ke belakang. Di saat usia bangsa ini masih sangat muda, Bapak Bangsa Presiden Soekarno mengambil keputusan untuk menggunakan olahraga sebagai media guna mengenalkan keberadaan bangsanya ke dunia internasional. Suatu ‘kedudukan’ yang membanggakan bagi dunia olahraga Indonesia. Dibangunlah Kompeks Stadion Senayan untuk menyambut duta-duta bangsa dalam pesta olahraga. Kompleks yang sangat megah dan dilengkapi dengan sarana penampungan atlet yang sejuk dan representatif sebagai tempat bermukim para atlet. Hingga bertahun-tahun kemudian, rasanya para atlet dari Sabang sampai Merauke pernah merasakan nikmatnya tinggal di perkampungan atlet Senayan. Di kala itu, sejauh yang dapat diketahui, rasanya kondisi poleksosbud Indonesia juga tidak dalam keadaan yang prima malah cenderung tertatih-tatih, namun keputusan pemerintah yang secara nyata mengangkat derajat olahraga sebagai media untuk menunjukkan eksistensi bangsa merupakan cermin yang dapat merefleksikan bagaimana kedudukan olahraga dalam masyarakat Indonesia saat itu.

Hal yang nyaris sama juga pernah dirasakan di Semarang, di awal tahun 70an, berdiri megah Gedung Olah Raga (GOR) di kawasan Simpang Lima. Gedung megah kebanggaan Semarang yang menjadi pusat kegiatan olahraga. Di saat gedung itu masih berdiri, masyarakat olahraga Semarang boleh berbangga hati melihat maraknya kegiatan olahraga, kompetisi antar klub dari berbagai cabang olahraga susul menyusul di selenggarakan di GOR yang selalu dipadati penonton. Di kala jeda kompetisi, gedung tersebut juga senantiasa disemarakkan oleh bunyi ‘gedebak-gedebuk’ orang berlatih bola basket, bola voli atau bulutangkis.

Dan apa yang dapat kita jumpai saat ini? Kompleks perkampungan atlet di Senayan Jakarta telah berubah wujud penjadi plaza megah yang isinya bahkan nyaris tak terjangkau oleh kalangan menengah, dan GOR Simpang Lima juga sudah berwujud hotel mewah dan pertokoan. Olahraga telah dikorbankan atau menjadi korban boom ekonomi, sebab justru di saat pembangunan ekonomi sedang berjaya, olahraga sudah tidak lagi menjadi prioritas.

Inilah ironi kedudukan olahraga dalam masyarakat Indonesia saat ini. Di dalam GBHN, olahraga dikatakan sebagai media untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, satu-dua atlet yang berprestasi di tingkat nasional atau internasional dihujani puja-puji karena mengharumkan nama bangsa. Jargon “melalui olahraga, kebanggaan sebagai bangsa dapat diraih”, merupakan jargon yang dengan fasih dikemukakan oleh para pejabat dan pemuka masyarakat. Namun dalam keseharian, olahraga tidak cukup memiliki ruang dan kesempatan untuk bergerak dan berkembang. Oleh sebab itu, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, situasi poleksosbud negara akhir-akhir ini bukan merupakan satu-satunya kondisi yang dapat dijadikan sebagai alasan terhadap mandegnya prestasi olahraga. Lebih dari itu, karena masyarakat Indonesia memang belum atau tidak lagi mendudukkan olahraga sebagai hal yang patut diberi perhatian.

Merujuk pada fenomena seperti yang telah dikemukakan di atas, dapat dikemukakan kerangka permasalahan yang diharapkan dapat menjadi titik tolak kebangkitan keolahragaan di Indonesia pada umumnya, dan di Jawa Tengah/ Semarang pada khususnya. Permasalahan utama yang dapat dikemukakan adalah apa atau bagaimana sebenarnya makna dan kedudukan ‘olahraga’ dalam tatanan masyarakat di Semarang/Jawa Tengah? Rumusan jawaban dari permasalahan ini seyogyanya digunakan sebagai “landasan dan titik tolak” grand design pembangunan olahraga. Olahraga yang merupakan terjemahan dari konsep sport dalam format olympic sport dengan seperangkat nilai-nilai yang menyertainya, sebenarnya merupakan ‘produk impor’ yang tidak memiliki akar dalam budaya masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk menggali bagaimana sebenarnya makna dan kedudukan olahraga dalam masyarakat kita. Dengan demikian diharapkan bangunan olahraga yang dirancang di atas landasan pemahaman yang tepat, akanmenjadi fit and proper dengan kondisi dan aspirasi masyarakat setempat.

Selain permasalahan utama yang telah dirumuskan, model pembangunan olahraga yang telah berlangsung selama ini di Indonesia/Jawa Tengah/Semarang, juga belum menggunakan pendekatan ilmiah dan faktual dalam proses penyusunannya. Untuk itu perlu pula diajukan pertanyaan tentang bagaimana karakteristik dan potensi keolahragaan di Semarang/Jawa Tengah? Dan apa cabang olahraga unggulan yang tepat dan sesuai dengan karakteristik dan potensi yang dimiliki masyarakat Semarang/Jawa Tengah. Jawaban dari dua pertanyaan di atas, diharapkan dapat mengisi dan menjadi pilar utama dalam merencanakan bangunan olahraga bagi Semarang/Jawa Tengah.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana makna dan kedudukan/posisi olahraga dalam tatanan masyarakat kota semarang/jawa tengah?
2. Bagaimana karakteristik dan potensi keolahragaan di semarang/jawa tengah?
3. Apa cabang olahraga unggulan yang sesuai bagi kota semarang/jawa tengah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar